Dalam konteks ini, humor gelap bisa menjadi alat perlawanan karena dilontarka oleh orang-orang yang mengalaminya. Contoh lainnya yaitu ketika kita memiliki teman yang mendapat kabar duka bahwa orang tuanya telah meninggal, kemudian ada temen lain yang memiliki nasib sama dan mengubah kondisi itu menjadi sebuah lelucon seperti » santai aja bro jangan nangis…, paling nanti ngopi bareng sama bapak saya di atas…».
Menurut Ian Wilkie (2018) menulis bahwa sebuah lelucon itu sepatutnya diperbolehkan untuk menyinggung, bahkan untuk menghina. Sebab yang utama dari humor gelap adalah humor itu sendiri. Sehingga, membuat audiens tertawa adalah tugas yang paling penting bagi seorang komedian, terlepas dari seberapa menyinggung lelucon yang dibawakan. Pun juga menurut ia, lelucon hanya memprovokasi audiens untuk tertawa, dan tidak bisa mengubah perilaku.
Namun sebaliknya, Sarah Ilott (2018) menulis bahwa komedian harus mempertanggungjawabkan lelucon mereka meski tidak memiliki unsur menyinggung. Sebab, mereka memegang kuasa akan bagaimana sebuah kelompok direpresentasikan dalam leluconnya. Dalil ‘hanya lelucon’ bisa menjadi berbahaya ketika dijadikan pembenaran atas sebuah lelucon yang mempromosikan ideologi yang merugikan kelompok tertentu. Terlebih menurut Ilott, tidak sedikit komedian yang membebaskan diri dari konsekuensi ini dan mereka memposisikan diri sebagai korban dari political correctness ketika lelucon mereka dikiritik.
Tetapi humor gelap juga memiliki konsekuensi yang besar tentunya. Terlebih yang menjadi target dari dark jokes merupakan kelompok marjinal. Meski sifatnya adalah untuk menyinggung, perlu diperhatikan apakah targetnya menyerang ke atas atau ke bawah (Lockyer dan Pickering, 2008). Menurut penelitian Ford (2015), konsekuensi dari bentuk humor yang ofensif bukan terletak pada potensinya untuk menumbuhkan prasangka diskriminatif di benak audiens. Melainkan, memberi justifikasi bagi audiens yang sedari awal sudah memiliki prasangka tersebut. Akibatnya, humor bisa menjadi alat untuk menormalisasi status quo.
Selain itu, ada fakta bahwa orang yang suka dengan humor gelap disebut sebagai orang yang genius. Mengapa demikian? Dikarenakan untuk menikmati humor tersebut membutuhkan kemampuan untuk memperoses informasi yang kompleks. Artinya, tidak semua orang dapat menangkap slot deposit dana arti dari permainan kata yang digunakan di balik lelucon tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ulrike Willinger dan timnya yang mengamati 156 partisipan dengan rata-rata usia 33 tahun. Masing-masing dari mereka disuguhi 12 komik yang diambil dari The Black Book karya Uli Stein. Buku ini berisi kartun yang mengandung humor gelap. Mereka kemudian diminta untuk memberikan opini tentang kartun-kartun tersebut. Setelahnya, dilakukan tes IQ verbal dan non verbal. Mereka yang menyukai humor gelap tak hanya memiliki skor tes IQ yang tinggi, tetapi mereka juga berpendidikan tinggi.
Kapitalisme dan Eksploitasi, Sumber Krisis Air Bersih Masyarakat Bandung
Krisis air bersih yang melanda pemukiman masyarakat Bandung, khususnya di Desa Cimareme kian parah. Antrean masyarakat yang berdiri menunggu jeriken biru mereka diisi air bersih yang semakin hari semakin panjang. Keresahan masyarakat yang tak kunjung usai ini menjadi sebuah lika-liku rumit perjuangan dalam mendapatkan sumber daya air, terlebih di musim kemarau.